Selasa, 06 November 2012

Resensi Novel : Charlie si Jenius Dungu

Charlie : Si jenius Dungu 
  
    
 
Judul buku     : Charlie Si Jenius Dungu
Penulis            : Daniel Keyes
Penerjemah     : Isma B. Koesalamwardi
Penyunting    : Dewi Kartika Teguh Wati
Judul Asli       : Flowers for Algernon
Penerbit          : UFUK
Cetakan I        : Maret 2009
Cetakan II       : Mei 2009
Cetakan III     : Agustus 2009
Harga              : Rp. 39.900.00
Tebal               : 457 halaman


            Siapa yang menginginkan terlahir seperti Charlie? Bukanlah keinginan setiap orang terlahir dengan IQ dibawah rata-rata. Dimana dengan IQ yang dibawah 100 membuat seseorang tidak dapat mengerti tentang apa yang mereka lakukan dan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya, dengan kata lain orang yang mengalami hal seperti ini memiliki gangguan mental (psikologis). Tingkah lakunya pun cenderung kekanak-kanakan seperti anak-anak yang belum mengerti apa-apa,  walaupun usianya sudah menginjak dewasa Ia akan tetap menjadi seorang yang polos yang tidak mengerti apapun.

            Dalam novel yang berjudul Charlie Si Jenius Dungu ini menceritakan tentang  perjalanan hidup seorang anak laki-laki bernama Charlie (Charles Gordon)  yang berusia 32 tahun dan terlahir hanya dengan IQ 68. Dimana Ia mendapat perlakuan tidak adil dari orang tuanya, selain itu Ia juga harus selalu menjadi bahan olok-olokan teman-teman dan orang-orang  disekitarnya atas kebodohan dirinya. Ibunya yang merasa malu akan Charlie berusaha dengan segala cara untuk menyembuhkan penyakitnya itu mulai dari terapi otak, suntik hormon, sampai dengan terapi sengatan listrik, tetapi tidak ada yang berhasil sedikitpun. Walaupun begitu,  penderitaan yang dialami Charlie tidak semata-mata membuat Ia putus asa, hingga akhirnya Ia berusaha bagaimana caranya Ia menjadi pandai seperti layaknya orang-orang normal lainnya.

            Saat berusia 18 tahun, Charlie terbuang dari keluarganya hingga akhirnya Ia di asuh oleh seorang pemilik toko roti bernama Paman Doner dan memperkerjakannya disana. Hingga pada suatu hari seorang dokter dan proffesor yang pernah melakukan percobaan mengoperasi seekor tikus hingga menjadi tikus yang jenius menawarkan Charlie untuk melakukan operasi serupa hingga Ia bisa menjadi jenius seperti tikus yang diberi nama Algernoon tersebut. Akhirnya operasi pun berjalan lancar dan dengan keseriusan dan kerja kerasnya, Charlie pun berubah dari Charlie si dungu menjadi Charli si jenius. Namun kejeniusan yang dimilikinya itu tidak membuat Ia disenangi dan diperlakukan layaknya manusia normal seperti yang Ia harapkan selama ini. Dan karena kejeniusan yang dimilikinya  secara instant tersebut  Ia harus kehilangan pekerjaan dan teman-temannya di toko roti.

            Sesuatu yang dilakukan manusia tidaklah sempurna. Tiba saatnya Charlie menemukan fakta bahwa terdapat degradasi pada Algernon, tikus yang menjadi bahan eksperimen sebelum dirinya. Algernon mengalami keanehan pada perilakunya. Dia sering membentur - benturkan dirinya pada dinding labirin, tempat ia berlatih. Charlie tahu kalau ia harus berjuang melawan waktu atau kalau tidak pada akhirnya ia akan menjadi seperti tikus tersebut.

            Novel ini diulas dengan gaya laporan harian yang ditulis oleh pelaku utamanya (Charlie). Bagian-bagian awal novel ini berisi laporan dengan gaya tulis yang acak-acakan, penuh dengan salah ejaan, tanda baca, dan tata bahasa karena pelaku utama dalam novel ini memiliki IQ yang sangat rendah yang awalnya tidak dapat menulis. Kemudian laporan-laporan ini berkembang dengan perbaikan-perbaikan tata bahasa, gaya tulis, dan pola pikir. Perlahan-lahan kita dibawa dari saat cara pikir Charlie yang masih kekanak-kanakan dan menerima segala hal dengan senyum.  Selanjutnya kita melihat perubahan pada kecerdasan dan pribadi Charlie yang menjadi  pandai serta kritis terhadap sesuatu.

Kesimpulan :
Dalam novel ini memberikan motivasi yang baik bagi orang-orang diluar sana yang mengalami nasib serupa seperti charlie dimana orang yang mempunyai IQ hanya 68 dapat menjadi pandai berkat usaha dan kerja keras serta keyakinan yang kuat. Dan bukan berarti dengan keterbelakangan seperti ini dapat membuat seseorang hidup sendiri tetapi masih ada yang ingin berteman dengannya. Selain itu banyak lagi pelajaran yang dapat kita petik dari cerita ini bahwa hidup apa adanya menjadi diri sendiri walaupun berkekurangan lebih baik dari pada hidup dengan berbagai kelebihan akan tetapi merubah diri menjadi orang lain dan sesuatu yang didapat dengan cara instant tidak akan mendapatkan hasil yang sempurna dan kekal.



Keunggulan
Novel ini memiliki, yaitu para pembaca seolah-olah dibawa menelusuri dan merasakan perjalanan hidup tokoh utamanya. Selain itu novel ini sangat menyentuh hati, menegangkan, mengharukan  dan kaya akan emosional. Walaupun novel ini merupakan novel fiksi ilmiah, tetapi kisah yang ada terasa sangat nyata dan meyakinkan sekali. Untuk novel fiksi ilmah sejenisnya, novel ini menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dimengerti oleh berbagai kalangan masyarakat, terlebih masyarakat awam.   
Buku karya Daniel Keyes, yang merupakan seorang penulis Bestseller The Minds of Billy Miligan ini terjual lebih dari 5 juta kopi dan meraih HUGO AWARD dan NEBULA AWARD.

Kekurangan
Namun dalam novel ini terdapat  beberapa kisah yang tak sesuai dengan kebudayaan kita sebagai orang timur, seperti dikisahkan minum-minuman keras dan lain-lain.

Tentang Penulis

Daniel Keyes dilahirkan di Brooklyn, New York, penulis 8 buku yang telah diterjemahka kedalam berbagai bahasa, salah satunya The Minds of Billy Miligan. Beliau telah muncul di acara The Today Show, Regis And Kathy, 20/20, Sonya Sonya, dan Larry King Live, mengajar di lebih dari 60 Universitas, serta menerima gelar B.A dan M.A dari Brooklyn College. Seorang profesor yang telah pensiun dengan terhormat di Ohio University.

Jumat, 02 November 2012

Cerpen Pendidikan : Sekolahku di Pedalaman

-->Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Budi Makmur” ini. Sekolahku berada di daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku. Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek.

Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna, mengajar dari kelas satu sampai kelas enam.

Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami sering mengerjakan dan memecahkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali!

Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Rizal, temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena rumah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan belantara.

“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut?” tanyaku.

“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Besok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing di sungai!” janji Pak Nantan.
Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai berhitung memang patut diacungi jempol.

Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa memberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan mengajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok jauh berada di pedalaman.

Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-citamu, Jang?”

“Aku ingin jadi seperti Bapak!” jawabku mantap.

“Menjadi guru?” Pak Nantan ter-senyum.

Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju!”

Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku. “Pendidikan di kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang tua mereka dari pada pergi ke sekolah.”

Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah… Bagaimana mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung.

“Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung,” ujar Abah memujiku.

“Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,” kata Emak lalu mencium kepalaku.

“Terima kasih,” ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah, hehe…”
Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan cinta.
Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, teman-teman!***

Sebuah cerpen pendidikan oleh:
Surya Ismail